Reflieksi Akhir Ramadhan
Sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan ini akan kita jumpai. Yang
patut kita lakukan ialah introspeksi diri, atau yang sering disebut muhasabah.
Muhasabah penting dilakukan sebagai langkah awal untuk menilai sikap dan
perilaku kita. Apakah dengan berakhirrnya bulan Ramadhan, bisa meningkatkan
rasa iman dan taqwa kita kepada Allah SWT? Dengan berakhirnya bulan Ramadhan,
apakah nilai-nilai moral yang ada pada Al-Quran dan As-Sunnah bisa kita amalkan
dalam kehidupan sehari-hari? Yang tak kalah penting, apakah dengan berakhirnya
bulan Ramadhan, ibadah kita bisa lebih semangat dibandingkan sebelumnya?
Yang patut digaris
bawahi, setidaknya ada beberapa hal yang bisa kita ambil pelajaran (ibrah) dari
bulan Ramadhan:
Pertama, bulan
Ramadhan merupakan sarana pendidikan, agar kita selalu dekat dan merasa diawasi
kepada Allah SWT (Muraqabatullah). Oleh karena itu, saat kita menjalankan
ibadah puasa, kita tidak hanya dituntut menahan makan dan minum, tetapi juga
menjauhi hal-hal yang dilarang saat puasa, seperti ghibah, iri, dengki, dll.
Apabila seseorang berpuasa merasa tidak diawasi Allah, maka tak ayal disaat
sepi dia akan makan dan minum dan melakukan perbuatan buruk lainnya.
Hal ini
sebagaimana yang dijelaskan oleh Qadhi al-Baidhawi seperti dikutip Rasyid
Ridha. Puasa adalah menahan diri dari makan, minum dan berhubungan suami istri
dari terbit fajar hingga matahari terbenam, untuk mencari keridhaan Allah
(Ihtisaban) dan mempersiapkan jiwa untuk meraih ketakwaan dengan menanamkan
akhlak muraqabatullah (pengawasan Allah) dan mendidik jiwa dalam mengekang
dorongan syahwat sehinggan mampu meninggalkan hal yang haram (Salim, 2013: 3).
Kedua, bulan Ramadhan merupakan sarana peduli terhadap lingkungan
sosial. Dengan adanya Ramadhan, kita diajarkan menahan lapar dan haus selama
sehari. Hal itu merupakan bentuk empati kita kepada orang-orang fakir dan
miskin. Dimana mereka sudah terbiasa tidak makan selama dua hari dua malam.
Ketika mereka sedang beruntung, mereka hanya makan makan sesuap nasi dan seteguk air minum dalam
sehari.
Selain menanamkan rasa empati. Bulan Ramadhan juga memotivasi kita
agar terus menerus berinfaq, shadaqah, dan zakat. Apabila kita melakukan tiga
amalan ini, maka pahala yang akan kita dapat akan dilipat gandakan oleh Allah
SWT. Sebagaimana sabda Nabi SAW: “Segala amal kebajikan anak Adam
dilipatgandakan pahalanya dengan 10 hingga 700 kali lipat. Allah berfirman:
‘kecuali puasa, puasa itu untuk-Ku dan Aku (sendiri) yang akan memberikan
pahala kepadanya. Dia telah meninggalkan syahwat dan makan minum lantaran
Aku...(H.R Muslim)
Ketiga, Ramadhan telah mengajarkan kepada kita untuk zuhud terhadap
dunia. Artinya, puasa Ramadhan harus bisa mengantarkan manusia untuk lebih
mencintai Allah dari pada bumi dan seisinya. Sebagaimana yang kita tahu bahwa
alam dunia, seperti harta, anak-anak, wanita, perhiasan hanyalah permainan yang
melalaikan (Alat Al-Malahy). Jika kita terbuai pada kenikmatan dunia yang
sifatnya fana, niscaya kita akan terjelembab pada siksa akherat yang begitu
pedih.
Allah
SWT berfirman: “Dan tiadalah kehidupan dunia
ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat
itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?”
(Al-An’am: 32).
Menurut Jalaludin As Suyuti dan
Jalaludin Al Mahalli dalam kitab tafsir Jalalain disebutkan: “(Dan
tiadalah kehidupan dunia ini) artinya kesibukan manusia (selain dari main-main dan
senda-gurau) yang dimaksud yaitu amal taat dan hal-hal yang menjadi sarana
ketaatan, maka hal itu termasuk perkara-perkara akhirat. (Dan sungguh kampung
akhirat itu) yang dimaksud dengan kampung akhirat itu ialah surga (lebih baik
bagi orang-orang yang takwa) yang takut berbuat kemusyrikan. (Maka tidakkah
kamu memahaminya?) Kalimat tanya tersebut “Maka tidakkah kamu memahaminya?”
mendorong kamu untuk beriman.”
Dari ayat diatas dapat disimpulkan,
bolehlah kita mencari kehidupan dunia. Dengan syarat, bahwa kehidupan tersebut
merupakan sarana menuju kehidupan akherat. Seseorang yang dikatan zuhud
bukanlah orang yang setiap hari waktunya habis di masjid untuk shalat. Bukan
pula orang yang hanya berdiam diri tidak mau bekerja, dengan alasan ingin
beribadah kepada Allah dengan khusu’. Yang patut direnungkan bahwa dalam
menjalankan ibadah diperlukan harta. Umpamanya, seseorang ingin melaksanakan
zakat fitri atau zakat mal. Tidak lain dan tidak bukan dia pasti akan sangat
membutuhkan uang untuk melaksanakan hal tersebut. Seseorang yang ingin
melaksanakan ibadah shalat, tentunya mau tidak mau dia akan membutuhkan uang
untuk membeli busana muslim, sarung, peci, dan sajadah.
Intinya, dalam arti dewasa ini,
zuhud merupakan suatu aktivitas hidup di dunia dalam rangka mencari bekal di
alam akherat. Ada ungkapan yang menyatakan: “Bolehlah kita kaya, asal kekayaan
itu kita gunakan untuk kepentingan agama, negara, dan dunia, bukan untuk
kepentingan kita sendiri.”
Perilaku zuhud idealnya merupakan teknik pembebasan manusia dari
materiil ketika melakukan tindakan sosial, ekonomi, dan politik, juga dalam
kegiatan ritual keagamaan. Jelasnya zuhud bukanlah menjauhi kehidupan sosial,
ekonomi, dan politik, tapi melakukan semua tindakan itu sebagai wahana
pencapaian taraf kehidupan lebih luhur dan manusiawi dalam tataran lebih
spiritual dan ilahiah. Zuhud bukanlah uzlah (mengisolasi diri) lari dari
dinamika hidup empirik, tapi mengatasi hingga bisa bertindak sebagai pengamat
atas hidupnya sendiri dan kehidupan duniawi (Mulkhan, 2012: 97).
Dalam sejarah Islam dikenal nama-nama sahabat yang kaya, namun
kekayaan tersebut bukan untuk pesta pora
dan foya-foya. Diantaranya yang masyhur disebut dalam sejarah Islam ialah Abu
Bakar As Shidiq, Utsman bin Affan, dan Abdurrahman bin Auf. Kekayaan yang
mereka punya, mereka gunakan untuk bertransaksi kepada Allah dengan jaminan
pahala, bukan bertransaksi kepada manusia yang jaminannya hanyalah keuntungan
semata.
Oleh karena itu, dengan berakhirnya bulan Ramadhan ini, kita akan
masuk pada bulan Syawal. Kita yang sudah ditempa dan didik di bulan Ramadhan,
diharapkan bisa meningkatkan kualitas amalan sehari-hari di bulan ini. Jangan
sampai dengan berakhirnya bulan Ramadhan, malah menurunkan semangat ibadah kita
di bulan lain. Mudah-mudahan dengan menjalankan ibadah puasa, kita termasuk
golongan orang-orang yang bertaqwa.
Tulisan ini pernah dimuat koran SatelitPost. Klik link berikut untuk bisa mengakses koran tersebut:
http://satelitnews.co/berita-refleksi-akhir-ramadan-.html