Sabtu, 25 Juli 2015

Reflieksi Akhir Ramadhan


Sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan ini akan kita jumpai. Yang patut kita lakukan ialah introspeksi diri, atau yang sering disebut muhasabah. Muhasabah penting dilakukan sebagai langkah awal untuk menilai sikap dan perilaku kita. Apakah dengan berakhirrnya bulan Ramadhan, bisa meningkatkan rasa iman dan taqwa kita kepada Allah SWT? Dengan berakhirnya bulan Ramadhan, apakah nilai-nilai moral yang ada pada Al-Quran dan As-Sunnah bisa kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari? Yang tak kalah penting, apakah dengan berakhirnya bulan Ramadhan, ibadah kita bisa lebih semangat dibandingkan sebelumnya?
            Yang patut digaris bawahi, setidaknya ada beberapa hal yang bisa kita ambil pelajaran (ibrah) dari bulan Ramadhan:
            Pertama, bulan Ramadhan merupakan sarana pendidikan, agar kita selalu dekat dan merasa diawasi kepada Allah SWT (Muraqabatullah). Oleh karena itu, saat kita menjalankan ibadah puasa, kita tidak hanya dituntut menahan makan dan minum, tetapi juga menjauhi hal-hal yang dilarang saat puasa, seperti ghibah, iri, dengki, dll. Apabila seseorang berpuasa merasa tidak diawasi Allah, maka tak ayal disaat sepi dia akan makan dan minum dan melakukan perbuatan buruk lainnya.
            Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Qadhi al-Baidhawi seperti dikutip Rasyid Ridha. Puasa adalah menahan diri dari makan, minum dan berhubungan suami istri dari terbit fajar hingga matahari terbenam, untuk mencari keridhaan Allah (Ihtisaban) dan mempersiapkan jiwa untuk meraih ketakwaan dengan menanamkan akhlak muraqabatullah (pengawasan Allah) dan mendidik jiwa dalam mengekang dorongan syahwat sehinggan mampu meninggalkan hal yang haram (Salim, 2013: 3).
Kedua, bulan Ramadhan merupakan sarana peduli terhadap lingkungan sosial. Dengan adanya Ramadhan, kita diajarkan menahan lapar dan haus selama sehari. Hal itu merupakan bentuk empati kita kepada orang-orang fakir dan miskin. Dimana mereka sudah terbiasa tidak makan selama dua hari dua malam. Ketika mereka sedang beruntung, mereka hanya makan  makan sesuap nasi dan seteguk air minum dalam sehari.
Selain menanamkan rasa empati. Bulan Ramadhan juga memotivasi kita agar terus menerus berinfaq, shadaqah, dan zakat. Apabila kita melakukan tiga amalan ini, maka pahala yang akan kita dapat akan dilipat gandakan oleh Allah SWT. Sebagaimana sabda Nabi SAW: “Segala amal kebajikan anak Adam dilipatgandakan pahalanya dengan 10 hingga 700 kali lipat. Allah berfirman: ‘kecuali puasa, puasa itu untuk-Ku dan Aku (sendiri) yang akan memberikan pahala kepadanya. Dia telah meninggalkan syahwat dan makan minum lantaran Aku...(H.R Muslim)
Ketiga, Ramadhan telah mengajarkan kepada kita untuk zuhud terhadap dunia. Artinya, puasa Ramadhan harus bisa mengantarkan manusia untuk lebih mencintai Allah dari pada bumi dan seisinya. Sebagaimana yang kita tahu bahwa alam dunia, seperti harta, anak-anak, wanita, perhiasan hanyalah permainan yang melalaikan (Alat Al-Malahy). Jika kita terbuai pada kenikmatan dunia yang sifatnya fana, niscaya kita akan terjelembab pada siksa akherat yang begitu pedih.
Allah SWT berfirman: “Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (Al-An’am: 32).
Menurut Jalaludin As Suyuti dan Jalaludin Al Mahalli dalam kitab tafsir Jalalain disebutkan: “(Dan tiadalah kehidupan dunia ini) artinya kesibukan manusia (selain dari main-main dan senda-gurau) yang dimaksud yaitu amal taat dan hal-hal yang menjadi sarana ketaatan, maka hal itu termasuk perkara-perkara akhirat. (Dan sungguh kampung akhirat itu) yang dimaksud dengan kampung akhirat itu ialah surga (lebih baik bagi orang-orang yang takwa) yang takut berbuat kemusyrikan. (Maka tidakkah kamu memahaminya?) Kalimat tanya tersebut “Maka tidakkah kamu memahaminya?” mendorong kamu untuk beriman.”
Dari ayat diatas dapat disimpulkan, bolehlah kita mencari kehidupan dunia. Dengan syarat, bahwa kehidupan tersebut merupakan sarana menuju kehidupan akherat. Seseorang yang dikatan zuhud bukanlah orang yang setiap hari waktunya habis di masjid untuk shalat. Bukan pula orang yang hanya berdiam diri tidak mau bekerja, dengan alasan ingin beribadah kepada Allah dengan khusu’. Yang patut direnungkan bahwa dalam menjalankan ibadah diperlukan harta. Umpamanya, seseorang ingin melaksanakan zakat fitri atau zakat mal. Tidak lain dan tidak bukan dia pasti akan sangat membutuhkan uang untuk melaksanakan hal tersebut. Seseorang yang ingin melaksanakan ibadah shalat, tentunya mau tidak mau dia akan membutuhkan uang untuk membeli busana muslim, sarung, peci, dan sajadah.
Intinya, dalam arti dewasa ini, zuhud merupakan suatu aktivitas hidup di dunia dalam rangka mencari bekal di alam akherat. Ada ungkapan yang menyatakan: “Bolehlah kita kaya, asal kekayaan itu kita gunakan untuk kepentingan agama, negara, dan dunia, bukan untuk kepentingan kita sendiri.”
Perilaku zuhud idealnya merupakan teknik pembebasan manusia dari materiil ketika melakukan tindakan sosial, ekonomi, dan politik, juga dalam kegiatan ritual keagamaan. Jelasnya zuhud bukanlah menjauhi kehidupan sosial, ekonomi, dan politik, tapi melakukan semua tindakan itu sebagai wahana pencapaian taraf kehidupan lebih luhur dan manusiawi dalam tataran lebih spiritual dan ilahiah. Zuhud bukanlah uzlah (mengisolasi diri) lari dari dinamika hidup empirik, tapi mengatasi hingga bisa bertindak sebagai pengamat atas hidupnya sendiri dan kehidupan duniawi (Mulkhan, 2012: 97).
Dalam sejarah Islam dikenal nama-nama sahabat yang kaya, namun kekayaan  tersebut bukan untuk pesta pora dan foya-foya. Diantaranya yang masyhur disebut dalam sejarah Islam ialah Abu Bakar As Shidiq, Utsman bin Affan, dan Abdurrahman bin Auf. Kekayaan yang mereka punya, mereka gunakan untuk bertransaksi kepada Allah dengan jaminan pahala, bukan bertransaksi kepada manusia yang jaminannya hanyalah keuntungan semata.
Oleh karena itu, dengan berakhirnya bulan Ramadhan ini, kita akan masuk pada bulan Syawal. Kita yang sudah ditempa dan didik di bulan Ramadhan, diharapkan bisa meningkatkan kualitas amalan sehari-hari di bulan ini. Jangan sampai dengan berakhirnya bulan Ramadhan, malah menurunkan semangat ibadah kita di bulan lain. Mudah-mudahan dengan menjalankan ibadah puasa, kita termasuk golongan orang-orang yang bertaqwa. 
Tulisan ini pernah dimuat koran SatelitPost. Klik link berikut untuk bisa mengakses koran tersebut:

http://satelitnews.co/berita-refleksi-akhir-ramadan-.html

Meningkatkan Ibadah di Bulan Syawal


Indahnya buka puasa akan kita lalui, kehangatan makan sahur sebentar lagi akan berakhir, gema takbir tanda kemenangan umat Islam akan segera dikumandangkan. Lantas, apakah perjuangan menahan nafsu makan, minum, dan syahwat akan berakhir dengan munculnya bulan Syawal? Apakah dzikir yang kita lantunkan, tilawah yang kita jaga sehari satu juz, dan shalat malam yang rutin kita lakukan, hanya akan menjadi kenangan yang tersimpan dalam memory kita?
            Saat bulan Ramadhan telah pergi, dan bulan Syawal hadir bukan berarti hal-hal baik yang telah kita lakukan di bulan Ramadhan telah usai. Sesuai dengan maknanya, Ramadhan adalah bulan pembakaran. Artinya, seluruh hawa nafsu yang dapat menjerumuskan kita kedalam dosa akan di bakar (dihilangkan) dengan ibadah puasa dan ibadah lain, sedangkan bulan Syawal berarti bulan peningkatan. Apabila sebuah atau beberapa amalan di bulan Ramadhan telah kita lakukan dengan maksimal, marilah senantiasa kita tingkatkan dan istiqamahkan agar bisa terus-menerus dilakukan di bulan Syawal dan di bulan-bulan yang lain.
            Berakhirnya bulan Ramadhan dan hadirnya bulan Syawal ditandai dengan adanya suatu hari raya besar umat Islam yaitu Idul Fitri. Beberapa dari kita menyebutnya dengan lebaran. Secara etimologi (bahasa), Idul Fitri merupakan gabungan dari kata ‘‘Iid’ (berasal dari kata (‘Aada-Ya’uudu) yang artinya kembali dan ‘Fitri’ (masdar dari Iftar dan berasal dari kata Aftaro-Yufthiru) yang  artinya berbuka. Sedangkan secara terminologi (istilah), Idul Fitri ialah hari raya umat Muslim, dimana diperbolehkan kembali berbuka, baik itu makan, minum, maupun perbuatan lain yang halal, namun dilarang pada saat bulan Ramadhan.
            Ada beberapa ulama yang mendefinisikan Idul Fitri dengan interpretasi yang berbeda. Adapun secara etimologi, ‘‘Iid’ berarti kembali, sedangkan ‘Fitri’ (berasal dari kata Fathoro-Yafthiru) suci dan bersih dari kejelekan. Maka, dari pengertian diatas, secara terminologi Idul Fitri ialah hari raya umat Muslim, dimana semua dosa, kejelekan, hal-hal buruk disucikan, sehingga manusia berada dalam keadaan fitrah.    
            Sebagian dari kita mungkin masih bertanya atau mungkin bingung, apa yang mestinya dilakukan setelah perginya bulan Ramadhan? Yang harus dilakukan yaitu:
            Pertama, sesuai dengan pengertian diatas, kita harus kembali pada fitrah. Allah berfirman:
            Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Ar Rum: 30).
            Manusia diciptakan Allah mempunyai naluri/fitrah beragama, yaitu agama Tauhid. Asal kejadian manusia telah membawa potensi agama yang lurus, yaitu Tauhid (Islam). Mengapa Tauhid adalah fitrah manusia? Karena pokok kepercayaan di dalamnya sesuai atau cocok dengan fitrah akal manusia. Peraturan dan hukum-hukumnya juga juga dapat dimengerti oleh akal manusia dan untuk kemaslahatannya, sehingga tidak ada satu pun doktrin dalam peraturan hukum Islam yang menyalahi fitrah manusia (Salim, 2013:107).   
            Tauhid sebagai fitrah manusia berarti bahwa naluriah manusia itu bertuhan. Sebab,  manusia adalah makhluk yang selalu cinta kepada kesucian dan selalu cenderung kepada kebenaran. Dhamir (hati nuraninya) selalu mendendangkan dan merindukan kebenaran. Kebenaran tidak akan  didapat melainkan dengan Allah SWT sebagai kebenaran mutlak dan terakhir. Al Quran menerangkan bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia dengan kodrat yang hanif, sebagaimana juga agama Islam diciptakan Tuhan atas kodrat yang hanif, artinya memihak pada kebenaran. Sebab ,itulah Islam cocok dengan fitrah manusia (Razak, 1982:78-79).
            Berdasarkan penjelasan diatas, hendaknya kita memantapkan keyakinan pada agama Islam sebagai agama fitrah bagi manusia. Karena dengan memantapkan keyakinan, kita bisa terus konsisten menjalankan ajaran-ajarannya dengan maksimal.
            Kedua, yang harus kita lakukan dengan datangnya bulan Syawal ialah menjadikan nilai-nilai etika dan moral yang terdapat pada Al Quran dan As Sunnah sebagai jalan hidup (Way of Live).  Masyarakat Islam yang ideal adalah masyarakat yang didalamnya terdapat hukum Tuhan, dimana Tuhan menjadi hakim dalam semua masalah kehidupan, baik kehidupan individu maupun masyarakat. Ciri-ciri masyarakat Islami sebagaimana yang dimaksud dalam Al Quran dan As Sunnah yaitu: 1.) Terwujudnya keadilan, 2.) Penyedian jaminan dan kesejahteraan sosial, 3.) Kesadaran yang tinggi akan tanggung jawab sosial, 4.) Komitmen terhadap nilai, 5.) Bersikap moderat, 6.) Membangun rasa persaudaraan, 7.) Menganjurkan kebaikan dan mencegah keburukan, dan 8.) Menghormati hak asasi manusia (Amir, 2011: 62-63).
            Ketiga, membangun perdamaian ditengah masyarakat yang majemuk dan plural. Saat datangnya bulan Ramadhan, puasa merupakan sekolah rohani paling efektif untuk meredam emosi dan amarah hewani. Puasa mengajarkan kita untuk senantiasa menjaga lisan dan tangan dari tindakan amoral. Artinya, puasa akan bermakna jika pesan tentang perdamian mampu dijadikan perilaku dalam kehidupan sehari-hari.
            Puasa akan bermakna jika kecenderungan untuk menebarkan kebencian dapat ditinggalkan dan beralih untuk membangun pentingnya hidup berdampingan secara damai. Imam Al Ghazali menyatakan, poros utama dari tingkah laku manusia adalah hati. Karena itu, mengisi hati dengan pesan perdamaian akan menjadi modal baik kebangsaan kita (Misrawi, 2010: 219).
            Oleh karena itu, spirit kasih sayang dan welas asih yang telah dilestarikan pada bulan Ramadhan, haruslah kita jaga di bulan-bulan lain. Karena substansi dari ibadah puasa ialah bisa menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung didalamnya, kemudian mengaktualkan dalam kehidupan sehari-hari. Jangan sampai kita menjadi religius hanya pada saat-saat tertentu. Maka ada suatu ungkapan: “Kun Rabbaniyan Wa Laa Takun Romdoniyan.” Artinya, jadilah ahli ibadah (diseluruh waktu dan tempat). Dan janganlah menjadi ahli ibadah hanya disaat bulan Ramadhan.” Taqabbalallahu Minna Wa Minkum, Shiyamana Wa Shiyamukum. Wallahu A’lam Bisshawab.

Tulisan ini pernah dimuat di koran SateltPost. Untuk mengakses koran tersebut, dapat klik link berikut: 
http://satelitnews.co/berita-meningkatkan-ibadah-di-bulan-syawal.html

Meredam Sensitivitas Agama di Tengah Kemajemukan Bangsa Indonesia



                   
            Indonesia merupakan negara plural. Tercatat, ada enam agama yang diakomodir, yaitu: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konhucu. Apabila pluralitas ini tidak dijaga dengan baik, maka akan menimbulkan rasa sensitif yang menyebabkan konflik destruktif. Dimana konflik destruktif bisa memecah belah persatuan agama-agama, dan ada kemungkinan pula memecah belah substansi Bhineka Tunggal Ika.
            Berdasar fakta, adanya pembunuhan pendeta akibat rasa sensitif yang berlebihan, penyerangan terhadap warga penganut faham Ahmadiyah, penyerangan terhadap warga penganut Syiah, dan yang terakhir masih hangat-hangatnya yaitu kasus pembakaran dan penyerangan jamaah shalat Ied di Tolikara. Itu disebabkan rasa sensitif negatif yang berelebihan terhadap umat lain yang berbeda agama.
            Menurut Budiono, sensitif ialah peka. Ada pun sensitivitas ialah perasaan yang peka atau yang lekas timbul.[1] Oleh karena itu, rasa sensitif bisa muncul dalam dua bentuk. Sensitif positif dan sensitif negatif. Senstif positif tidak menimbulkan konflik destruktif, sedangkan senstif negatif bisa menyebabkan konflik destruktif. Ada pun contoh dari sensitif positif dalam kehidupan sehari-hari yaitu empati dan simpati pada orang yang baru tertimpa musibah. Sedangkan contoh senstif negatif yaitu penyerangan atas nama agama kepada pemeluk agama lain.
            Oleh karena itu umat agama apa pun, perlu kembali merenungkan kembali esensi agama-agama yang mereka anut. Agama apa pun, baik itu Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu tidak pernah mengajarkan kepada pemeluknya untuk membunuh umat lain yang berbeda agama tanpa ada alasan yang jelas. Setiap agama tentunya punya nilai-nilai substantif berupa kasih sayang, welas asih, toleransi (tasamuh), dan tolong menolong. Nilai-nilai itulah yang harusnya diambil ketika seseorang hidup di tengah masyarakat yang plural dan majemuk.
            Menurut beberapa kajian, rasa senstif (sensitivitas) beragama mucul dikarenakan kembali pada dogma dan menafsirkannya dengan oposisi biner, hitam-putih, salah-benar. Mereka yang termasuk hitam adalah mereka yang salah dan disebutnya sebagai setan jahat, sementara yang putih adalah mereka yang benar termasuk anak Tuhan.[2] Adanya teror, kekerasan, dan perang atas nama ideologi, nasionalisme, agama, etnis, kebudayaan, ilmu pengetahuan & teknologi (iptek) dilakukan dengan tujuan menghapus mereka yang berbeda paham dan pandangan.[3]
            Dalam peradaban modern di zaman masyarakat beradab (civil society), peperangan ternyata terus berlangsung berdasar tafsirnya sendiri. Hak Asasi Manusia (HAM) ditafsiri secara sepihak untuk melakukan tekanan terhadap pihak lain yang lemah dan gagal merebut wacana tentang identitas yang sah. Dunia beradab belum bebas dari logika konflik dan dengan akibat buruk penindasan bangsa atau komunitas lain. Tanpa konflik, ternyata dunia beradab seperti berhenti bergerak, dan hidup seperti bergerak tanpa ruh.[4]
Idealnya Civil Society dalam bahasa Inggris atau al-mujtama’ al-madani  adalah masyarakat bermoral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dan stabilitas masyarakat, di mana masyarakat memiliki daya dorong usaha dan inisiatif individual. Sistem sosial yang cakap dan seksama serta pelaksanaan pemerintahan mengikuti Undang-Undang dan bukan nafsu atau keinginan individu menjadikan keterdugaan atau predictabilty serta ketulusan atau transparency sebagai satu sistemnya.[5]
Rasa sensitif yang menyebabkan konflik dan kekerasan atas nama agama atau Tuhan lebih disebabkan oleh karena pemeluk semua agama tidak konsisten dengan keyakinannya sendiri. Hubungan antar pemeluk berbeda agama atau berbeda paham keagamaan, akan bisa dikembangkan lebih manusiawi, dialogis dan konstruktif jika bisa dibedakan dengan jelas yang sakral dari yang profan dan sekuler, pemeluk semua agama bisa bekerjasama saling menguntungkan, baik bagi kepentingan setiap agama itu sendiri atau bagi kepentingan manusia dalam arti luas.[6]
Sayangnya, pemeluk setiap agama hampir selalu berbeda dalam menempatkan dan merumuskan apa saja yang disebut sekuler dan sakral. Keduanya bahkan sering saling mengambil peran parstisipatif, selain bisa diubah setiap saat oleh pemeluk semua agama. Batas antara yang sakral dan yang profan tidak pernah jelas dan hampir mustahil dibuat. Dengan mudah kita mengubah tindakan politik atau ekonomi sebagai tindakan atas nama Tuhan. Atas nama-Nya pula orang-orang yang merasa saleh terpanggil oleh suatu kewajiban menghancurkan orang lain berbeda agama.[7]
Yang perlu diingat, bahwasannya setiap komunitas mempunyai keyakinan tersendiri dalam beberapa hal tertentu. Hendaknya perbedaan tersebut tidak dapat menjadi alasan untuk menebarkan kekerasan di antara satu kelompok terhadap kelompok lain. Intinya, keyakinan kelompok tertentu harus dihargai dan dihormati.[8]
Untuk itu, kalangan agamawan mempunyai tanggung jawab moral yang tidak bisa diabaikan untuk menghilangkan rasa sensitif negatif yang berlebihan. Sebab, pada hakikatnya setiap agama membawa misi perdamaian.[9] Agama apa pun, baik itu Islam, Katolik, Hidu, Budha, Konghucu, dll.



[1] Budiono, Kamus Ilmiah Populer Internasional, Cet: - (Surabaya: Alumni, 2005)., hlm. 591.
[2] A.M Hendropriyono, Terorisme: Fundamentalis, Kristen, Yahudi, Islam, Cet. II, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2009)., hlm. 160
[3] Abdul Munir Mulkhan, “Tafsir Identitas dan Kekerasan Keagamaan”, dalam Jurnal UNISIA, No. 45, Februari 2002 (Yogyakarta: UII, 2002)., hlm. 139.
[4] Ibid.
[5]Hendro Prasetyo, dkk, Islam dan Civil Society: Pandangan Muslim Indonesia, Cet. I, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002)., hlm. 158
[6] Abdul Munir Mulkhan, “Dialektika Agama dan Kebudayaan Bagi Pembebasan”, dalam Dinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan: Kado 60 Tahun Musa Asy’arie (Yogyakarta: LeSFI, 2011)., hlm. 14
[7] Ibid.
[8] Zuhairi Misrawi, Pandangan Muslim Moderat: Toleransi, Terorisme, Dan Oase Perdamaian, Cet.-, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2010)., hlm. 140
[9] Ibid., hlm. 203

Baca pula: http://www.kampunghalaman.org/berita?id=899