Sumber Gambar: Dokumen Pribadi
Di nusantara ini, prosesi akad
nikah kadang lebih kental dengan nuansa budaya dibanding agama. Kebanyakan
orang lebih terikat dengan adat istiadat yang telah membudaya daripada dengan
ajaran agama. Tentu saja, adat istiadat yang berkaitan dengan pernikahan
diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan syariat Islam. Walaupun
demikian, sejak awal Islam juga mengajarkan kesederhanaan dalam prosesi
pernikahan sehingga semua rangkaian prosesi ini tidak menyulitkan atau
membebani kedua mempelai. Sebab, dalam pandangan Islam, seluruh rangkaian
prosesi tersebut tak lebih dari simbol belaka, sementara substansinya adalah
ikatan dan komitmen mereka berdua.
Hal yang sama juga berlaku dengan
mahar yang menjadi salah satu rukun akad nikah dalam Islam. Mahar adalah
pemberian suka rela yang merupakan simbol dari ketulusan, kejujuran, dan
komitmennya dalam menikahi seorang perempuan. Al Qur’an sendiri menyebutkan
dengan kata shaduqah yang berarti kejujuran dan ketulusan sebagaiana firman-Nya
dalam QS An-Nisa/4:4:
Dan berikanlah para perempuan itu
mahar-mahar mereka dengan penuh suka rela. Ketika mereka memberikan dengan suka
cita kepada kamu sebagian dari mahar tersebut, maka makanlah (ambillah)
pemberian itu dengan nyaman dan senang hati.
Dalam ayat tersebut jelas
disebutkan bahwa mahar merupakan komitmen cinta yang diberikan dengan penuh
sukarela (nihlah) dan suka cita. Kedua kondisi tersebut mengindikasikan bahwa
mahar tidak seharusnya memberatkan seorang pria, apalagi menghalanginya untuk
menikahi seorang perempuan. Hukum Islam sendiri tidak memberikan batasan baku
tentang besaran jumlah mahar. Akan tetapi, berbagai sabda Rasulullah SAW
melalui berbagai hadis menganjurkan mahar itu ringan dan mudah. Dalam rangkaian
hadis tersebut, disebutkan bahwa Rasulullah pernah merestui pernikahan dengan
mahar berupa cincin besi, sepasang sandal, bahkan jasa sebentuk pengajaran
al-Quran. Hal ini diperkuat dengan firman Allah dalam QS. Ath-Thalaq/65:7
Hendaknya seseorang yang berkemampuan
memberikan (sesuatu) sesuai kemampuannya; siapa yang telah diberi rizki (yang
bisa jadi sedikit) hendaklah memberi sesuai yang diberi Allah itu. Allah tidak
akan membebani seseorang kecuali sebanyak yang telah diberikan oleh-Nya. Allah
akan memberikan kelapangan di balik kesusahan.
Pemahaman mahar sebagai simbol
cinta kasih ini juga penting karena ada sementara orang yang memahami mahar
adalah alat tukar. Dengan demikian, ketika mahar sudah diberikan maka perempuan
tersebut menjadi miliknya, dapat dikuasai dan harus mengikuti perintah dan
kemauannya. Lebih jauh lagi, dengan pemahaman tersebut, makin besar mahar yang
diberikan maka semakin tinggi rasa kepemilikan suami terhadap istrinya.
Pemahaman seperti ini bukan hanya menyalahi alasan disyariatkannya mahar tapi
juga berpotensi besar mengarah kepada kekerasan dalam rumah tangga dan berbagai
efek negatif lain.
Sumber rujukan:
Halaman 34-36 Buku Fondasi
Keluarga Sakinah (Bacaan Mandiri Calon Pengantin) Penulis Subdit Bina Keluarga
Sakinah Direktorat Bina KUA & Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam Kemenag
RI tahun 2017.
Edisi Delapan Belas
#penyuluhanagamaislam